Movie

Clouds of Sils Maria

 

Clouds_of_Sils_Maria-xlarge

Gambar dari telegraph.co.uk

Setelah nonton film ini tiga kali (fiyuh), akhirnya saya sedikit mengerti dan bisa interpretasi maknanya. Hauhauhau.

Pertama kali lihat trailer film ini, saya gak gitu penasaran karena main castnya gak ada yang ganteng (huahaha), tapi setelah sekali gak sengaja nonton di TV, jadi penasaran. Ekspektasi pertama saya tentang film ini adalah artsy, jadi besar kemungkinan susah dimengerti (masuk daftar Sundance kaka…). Yang kedua, pasti setting-nya sokil karena di pegunungan Alps. Dua premis tersebut benar adanya setelah saya menonton pertama kali.

Saya nonton film ini tiga kali; yang pertama kurang serius dan nontonnya dari tengah, jadi cuma kena efek bagus pemandangan dan soundtrack film; yang kedua saya nonton dari awal tapi lewat-lewat dengerin dialognya; yang ketiga saya nonton on-demand di Showtime (saluran TV kabel di US), jadi lebih tune-in karena bisa di-pause dan ulang lagi kalau gak ngerti ha ha ha.

Flow film juga cukup lambat, it takes time, tension-nya dibangun perlahan dan kadang bikin bosen. Saya sempet sambi kerjain hal lain, tapi efeknya jadi kelewatan beberapa adegan. Makanya sampe nonton tiga kali 😛 .

Clouds of Sils Maria fokus pada Maria Enders, seorang aktor paruh baya, dan asistennya, Valentine. Maria naik daun sewaktu berperan di film dan drama teater Maloja Snake sebagai Sigrid, karakter perempuan muda di play tersebut. Fast forward dua puluh tahun kemudian, Maria kembali bermain di drama yang sama, tapi sebagai karakter perempuan yang lebih tua (Helena). Untuk persiapan drama Maloja Snake, Maria dan Valentine tinggal di Sils Maria (rumah Wilhelm, si penulis drama yang meninggal di awal cerita) sambil melakukan rehearsal untuk peran Helena. Seiring dengan berjalannya cerita, kadang sulit membedakan mana dialog ‘real’ antara Maria dan Valentine dan mana dialog antara Helena dan Sigrid. Mendekati ujung cerita, Valentine mulai mengeluarkan opininya sendiri kepada Maria dan ‘tone’ dialognya nyaris saru dengan dialog Sigrid ke Helena. Ini yang bikin nontonnya gak bisa disambi sama yang lain ha ha ha.

Cara bercerita atau story telling film ini cukup menarik. Ada beberapa tulisan di Internet yang setuju kalau Helena dan Sigrid adalah Maria dan Valentine. Cerita mereka berdua diceritakan dalam cerita lain, membuatnya sedikit samar dan ambigu. Terus judul film (Clouds of Sils Maria) dan judul play (Maloja Snake) sebenarnya mengacu pada hal yang sama, tapi dengan diksi yang berbeda. Kayak inception gitu mungkin ya; Helena dan Sigrid di Maloja Snake adalah Maria dan Valentine di Clouds of Sils Maria. Tapi setelah nonton tiga kali, saya kurang setuju kalau porsi terbesar film ini menceritakan Maria dan Valentine. Fokus film ini adalah Maria, struggle-nya sebagai aktor perempuan yang menua, dan perbedaan generasi. Di adegan latihan antara Maria dan Valentine untuk Maloja Snake, sedikit terasa stress dari Valentine yang kayaknya udah gak sanggup untuk menangani Maria yang penuh denial dengan keadaannya sebagai aktor paruh baya. Maria engga suka sama karakternya sebagai Helena yang menurut dia ‘lemah’ dan kurang signifikan; terus ada juga rasa ga suka sama lawan mainnya, Jo-Ann Ellis yang terlalu sensasional dan penuh skandal.

Kadang kita suka lihat kan di Hollywood, kayaknya bisa dihitung dengan jari aktor perempuan yang lebih tua ada di jajaran main cast. Kebanyakan perempuan yang lebih muda, bahkan untuk peran yang memang lebih tua, tetep aja yang mainin perempuan yang lebih muda. Dan kayaknya aktor pria diberi kemudahan lebih banyak ketimbang aktor perempuan. Engga jarang aktor pria umur 50 ke atas ada di jajaran main cast, meski rasanya doski terlalu heroik untuk umur segitu (misal Liam Neeson di film Tak3n, eugh apa lagi ya). Saya pernah baca juga artikel di Internet yang membicarakan hal ini. Seems legit to me.

Analogi perbedaan generasi juga terjadi antara Jo-Ann Ellis dengan Chris (meski perbedaan generasi mereka gak ekstrim, cuma terkesan beda selera). Chris bilang dia suka dengan musik abad ke-18 alias musik klasik, lebih soothing ketimbang musik jaman sekarang. Sementara Jo-Ann Ellis lebih suka musik rock. Saya bisa relate, khususnya dengan musik sekarang yang miskin lirik ‘ngena’, beda dengan jaman dulu. Saya engga mempermasalahkan perihal genre, mau rock, reggae, pop, classic, atau hip hop. Rasanya musik jaman dulu lebih transcendence.

Perbedaan pendapat Maria dan Valentine diceritakan melalui perbincangan mereka mengenai film-film jaman sekarang yang cenderung futuristik dan tidak berlokasi di bumi (mengacu ke film Jo-Ann). Saya suka dialog antara Maria dan Valentine yang lagi berdebat, hanya karena latarnya ‘tidak di bumi’ Maria jadi skeptis terhadap film-film futuristik tersebut. Selain itu, tensi mereka berdua pas latihan drama Maloja Snake. Awalnya Valentine masih bisa ikut pace-nya Maria, tapi tempernya Maria yang menjadi-jadi (dan Valentine yang menganggap kalau Maria melampiaskan kemarahannya ke Valentine) membuat Valentine naik pitam dan puncaknya di akhir dari Part Two film ini.

Epilog film menyediakan ruang bagi penonton untuk menginterpretasikan akhir dari Part Two. Dan rasanya tema film ini makin terasa di akhir cerita. Maria jadi less relevant dari Jo-Ann Ellis yang digambarkan seakan-akan menjadi pusat alam semesta dunia hiburan. No one cares about Maria (mengacu ke dialog terakhir antara Jo-Ann dan Maria di dress rehearsal Maloja Snake).

Akhir kata, film ini 4 jempol. Saya suka latarnya, teknik story telling-nya, dan aktingnya. Kristen Stewart di sini bagus banget, beda sama karakter Bella Swan yang cenderung stoic dan datar. I wish we know more about what happen between her and Berndt 😛 .

Kalau ada yang bilang film ini melulu tentang hubungan romansa sesama jenis, believe me it’s more than that. Ini mengenai hubungan antarmanusia yang diuji sampai batas urat nadi, dan it pops up begitu sampai puncak. Tema penuaan dan perbedaan generasi juga bagus sebagai pemikiran dan pentingnya adaptasi terhadap perubahan jaman.

Anyway pirsawan, give this movie a go. Salah satu dari film paling cantik di 2015 (dan sepanjang saya nonton film selama ini). Kalau ragu dengan akting Kristen Stewart, fear not; it’s great. Nontonnya harus ekstra sabar juga, mengingat pace cerita yang cukup lambat dan durasi yang agak lama (2 jam lebih yo). Dan mungkin nanti pirsawan jadi terinspirasi untuk ke Sils Maria kalau ke Swiss 😛 Saya pun jadi kepingin ke Swiss setelah nonton film ini.

————————————————————————

P.S.: Maloja Snake adalah fenomena metereologi dimana awan bergerak rendah karena ada perbedaan tekanan udara (kalau engga salah). Di film, fenomena ini diujar sebagai pertanda cuaca buruk akan datang. Kenapa Snake? Pergerakan awan rendah ini mirip serpent atau ular (dan memang mirip ular kalau lihat footage film). 

Categories: Movie

Tagged as: ,

Leave a comment